6 Konsekuensi Iman dalam Kehidupan
Di dalam Al Qur’an, manusia terbagi
menjadi tiga golongan, yaitu golongan orang beriman, orang kafir dan orang
munafik.
“Orang beriman dijelaskan dalam surah Al
Baqarah 2-5, tentang orang kafir dijelaskan dalam Al Baqarah 6-7 dan tentang
orang munafik dijelaskan dalam Al Baqarah 8-20.
Tiga golongan itu dilengkapi dengan
ciri-ciri serta akibat yang akan ditanggung oleh masing-masing golongan manusia
tersebut.
Dijelaskan bahwa ciri-ciri orang beriman
adalah mengimani rukun iman yang enam, sedangkan orang kafir cirinya tidak
dapat lagi melihat kebenaran. karena Allah telah mengunci mata, pendengaran dan
hati mereka. Dan bagi merekalah siksa yang amat berat.
Sedangkan ciri orang munafik biasanya
tidak sadar atas keburukan sifatnya sendiri, bahkan merasa dirinya yang lebih
benar dari orang lain, sehingga dapat menyesatkan orang lain. “Mereka merasa
lebih pintar dari orang beriman.
Konsekuensi iman, sebagaimana telah kita pahami bahwa menjadi
seorang mukmin tidak cukup hanya sebatas pengakuan. Pengakuan beriman tersebut
harus kita buktikan dalam bentuk sikap yang terpuji dan amal saleh.
Allah SWT akan menyatakan bahwa ia bukan
orang yang beriman. Allah SWT berfirman:
وَمِنَ
النَّا سِ مَنْ يَّقُوْلُ اٰمَنَّا بِا للّٰهِ وَبِا لْيَوْمِ الْاٰ خِرِ وَمَا هُمْ
بِمُؤْمِنِيْنَ
“Dan di antara manusia ada yang berkata,
“Kami beriman kepada Allah dan hari akhir,” padahal sesungguhnya mereka itu
bukanlah orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah [2]: 8).
Karena itu, untuk membuktikan kebenaran
iman seseorang, Allah SWT akan menguji, baik ujian itu dalam bentuk hal-hal
yang menyenangkan seperti harta yang banyak, kedudukan yang tinggi, popularitas
yang mencuat, wajah yanag ganteng atau cantik dan sebagainya, maupun ujian yang
tidak menyenangkan seperti penyakit yang diderita, risiko yang menimpa, paras
yang jelek, kedudukan yang rendah, dan sebagainya.
Untuk membuktikan keimanan kita.
Ada enam konsekuensi keimanan yang harus
kita wujudkan dalam kehidupan kita sehari-hari:
1.
Al-Yaqin
Yakni memiliki keyakinan
yang mantap dan tidak sedikitpun memiliki keraguan akan kebenaran, keaslian
ajaran islam, serta yakin akan prospek yang cerah bila menjalani kehidupan yang
sesuai dengan ajaran islam.
Dengan keyakinan yang tidak
ada unsur keraguan itu barulah seorang mukmin mau menjalankan ajaran islam
dengan sebaik-baiknya.
2.
At-Taslim
atau berserah diri kepada Allah SWT
Sikap seperti ini pernah
ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim a.s dan keluarganya yang menerima keputusan Allah
SWT meskipun harus menyembelih anaknya sendiri yang bernama Ismail. Bahkan,
Ismail sendiri menerimanya dengan senang hati, sedangkan Siti Hajar sampai
mengusir setan yang mencoba menggodanya agar ia mencegah suaminya itu untuk
menyembelih Ismail.
Sebagai mukmin, memang tidak
ada pilihan lain kecuali harus menerima segala hal itu disukai maupun tidak.
3.
As-sam’u
wa at-tha’ah
Yakni mendengar dan menaati
setiap ajakan, seruan, dan perintah Allah SWT. Karena itu, sebagai mukmin yang
sejati, bila ada seruan, ajakan, dan perintah untuk menegakkan kebenaran islam
kita harus menyambutnya dengan senang hati lalu berjuang bagi tegaknya
kebenaran islam itu.
Begitu juga dengan seruan
atau ajakan dan perintah untuk menghancurkan segala bentuk kebatilan.
4.
I’tiba’ul
Minhaj atau mengikuti aturan di dalam islam yang telah ditentukan Allah dan
Rasul-Nya
Kendala mengikuti syariat
islam muncul karena begitu banyak orang yang tidak memahami keagungan ajaran
islam dengan baik, kendala itu bisa datang dari penguasa dan orang tua seperti
yang dialami oleh Nabi Ibrahim as atau dari anak seperti yang dialami oleh Nabi
Nuh, bisa juga dari istri yang dialami oleh Nabi Luth as, atau dari keluarga
keluarga dan masyarakat.
5.
‘Adamul
haraj atau tidak ada perasaan berat dan bersempit dada dalam menerima
hukum-hukum Allah SWT
Hal ini merupakan sesuatu
yang penting karena tanpa hati yang senang, keputusan-keputusan Allah yang
ringan sekalipun akan terasa berat. Sementara bila ada rasa senang, jangankan
ketetapan Allah yang ringan, yang berat saja akan terasa menjadi ringan. Allah
SWT berfirman:
وَلَقَدْ
عَلِمْتُمُ الَّذِيْنَ اعْتَدَوْا مِنْكُمْ فِيْ السَّبْتِ فَقُلْنَا لَهُمْ كُوْنُوْا
قِرَدَةً خَا سِئِـيْنَ
“Dan sungguh, kamu telah
mengetahui orang-orang yang melakukan pelanggaran di antara kamu pada hari
Sabat, lalu Kami katakan kepada mereka, “Jadilah kamu kera yang hina!” (QS.
Al-Baqarah [2]: 65)
6.
‘Adamul
Khiyarah
Yakni tidak memilih-milih
lagi peraturan lain selain islam ketika sudah ada ketetapan Allah dan
Rasul-Nya. Orang yang memilih peraturan lain selain islam bukan hanya tidak
diakui keimanannya, tetapi juga dianggap sebagai orang yang tidak pantas kalau
mengaku orang beriman karena ia termasuk orang yang durhaka kepada Allah dan
Rasul-Nya, hal ini dinyatakan dalam firman-Nya:
وَمَا كَا
نَ لِمُؤْمِنٍ وَّلَا مُؤْمِنَةٍ اِذَا قَضَى اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗۤ اَمْرًا اَنْ يَّكُوْنَ
لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ اَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَّعْصِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ فَقَدْ
ضَلَّ ضَلٰلًا مُّبِيْنًا
“Dan tidaklah pantas bagi
laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya
telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka
tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka
sungguh, dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Ahzab [33]:
36)
Dengan demikian, menjadi
jelas bagi kita bahwa menjadi mukmin itu memang tidak cukup hanya sebatas
pengakuan, tetapi setelah kita mengaku, kita buktikan keimanan kita dalam
bentuk sikap dan perilaku sehari-hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika bermanfaat beri komentar